Kisah Nyata

Sebuah kisah inspiratif terjadi di Amsterdam atau lebih dikenal dengan “BELANDA”. Menjadi kebiasaan dihari jum’at, seorang imam masjid dan anaknya berumur 11 tahun membagi brosur di jalan-jalan dan keramaian, sebuah brosur dakwah yang berjudul “Thariiqun ilal jannah”. Tapi kali ini, suasana sangat dingin ditambah rintik air hujan yang membuat orang benar-benar malas untuk keluar rumah. Si anak telah siap memakai pakaian tebal dan jas hujan untuk mencegah dinginnya udara, lalu ia berkata kepada sang ayah, “Saya sudah siap, Ayah !” “Siap untuk apa, Nak?” “Ayah, bukankah ini waktunya kita menyebarkan brosur ‘jalan menujuh jannah’?” “Udara diluar sangat dingin, apalagi gerimis.” “Tapi Ayah, meski udara sangat dingin, tetap saja ada orang yang berjalan menuju neraka!” “Saya tidak tahan dengan suasana dingin diluar.” “Ayah, jika diizinkan, saya ingin menyebarkan brosur ini sendirian.” Sang ayah diam sejenak lalu berkata, “Baiklah, pergilah dengan membawa beberapa brosur yang ada.” Anak itupun keluar ke jalan kota untuk membagi brosur kepada orang yang dijumpainya, juga dari pintu ke pintu. Dua jam berjalan, dan brosur hanya tersisa sedikit saja. Jalan sepi dan tak ada orang yang dijumpainya lagi dijalanan. Ia pun mendatangi sebuah rumah untuk membagikan brosur itu. Ia pencet tombol bel rumah, namun tak ada jawaban. Ia pencet lagi, tetap tidak ada yang keluar. Hampir saja ia pergi, namun seakan ada suatu rasa yang menghalaginya. Untuk kesekian kali ia kembali memencet bel, dan ia ketuk dengan lebih keras. Ia tunggu beberapa lama, hingga pintu terbuka pelan. Dan seorang wanita tua dengan raut wajah yang menandakan kesedihan yang dalam. Wanita itu berkata, “Apa yang bisa dibantu wahai anakku?”. Dengan wajah ceria, senyum yang bersahabat si anak berkata, “Nek, mohon maaf jika saya mengganggu anda, saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai anda dan akan menjaga anda, dan saya membawa brosur untuk anda yang menjelaskan bagaimana anda mengenal Allah, apa yang seharusnya dilakukan manusia dan bagaimana cara memperolah ridho-Nya.” Anak itu menyerahkan brosurnya, dan sebelum ia pergi wanita itu sempat berkata, “Terimahkasih, Nak.” Sepekan kemudian Usai shalat jum’at, seperti biasa imam masjid berdiri dan menyampaikan sedikit tausiyah, lalu berkata, “Adakah di antara hadirin yang ingin bertanya, atau ingin mengutarakan sesuatu ?” Dibarisan belakang, terdegar seorang wanita tua berkata, “Tak ada diantara hadirin ini yang mengenaliku, dan baru kali ini saya datang ketempat ini. Sebelum jum’at yang lalu saya belum menjadi seorang wanita muslimah, dan tidak berfikir untuk menjadi seperti ini sebelumnya. Sekitar sebulan lalu suamiku meniggal, padahal ia satu-satunya orang yang aku miliki di dunia ini. Hari jum’at yang lalu, saat udara sangat dingin dan di iringi gerimis, saya kalap, karena tak tersisah lagi harapanku untuk hidup. Maka saya mengmbil tali dan kursi, lalu saya membawanya ke kamar atas di rumahku. Saya ikat satu ujung tali di kayu atap. Saya berdiri dikursi, lalu saya kalungkan ujung tali yang satunya ke leher, saya memutuskan untuk bunuh diri. Tapi tiba-tiba terdengar olehku suara bel rumah dilantai bawah. Saya menuggu sesaat dan tidak menjawab, “paling sebentar lagi pergi,” batinku. Tapi ternyata bel berdering lagi, dan kuperhatikan ketukan pintu yang semakin keras terdengar. Lalu saya melepaskan tali yang melingkar di leher, dan turun untuk sekedar melihat siapa yang mengetuk pintu. Saat kubuka pintu, kulihat seorang bocah berwajah ceria, dengan senyuman laksana seorang malaikat kecil dan aku belum pernah melihat anak seperti itu. Ia mengucapkan kata-kata yang sangat menyentuh sanubariku, “Saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai anda dan akan menjaga anda”. Kemudian anak itu menyodorkan brosur kepadaku yang berjudul, “jalan menuju jannah.” Akupun segera menutup pintu, aku mulai membaca isi brosur itu. Setelah membacanya, aku naik kelantai atas, melepaskan ikatan tali di atap dan menyingkirkan kursi. Saya telah mantap untuk tidak memerlukan itu lagi selamanya. Anda tahu, sekarang ini saya benar-benar merasa sangat bahagia, karena bisa mengenal Allah yang Esa, tiada ilah yang haq selain Dia. Dan karena alamat markaz dakwah yang tertera di brosur itu, maka saya datang kesini sendirian untuk mengucapkan pujian kepada Allah, kemudian berterimah kasih kepada kalian, khususnya “malaikat” kecil yang telah mendatangiku pada waktu yang sangat tepat. Mudah-mudahan itu menjadi sebab saya selamat dari kesengsaraan menuju kebahagiaan jannah yang abadi. Mengalirlah air mata para jama’ah yang hadir di masjid, gemuruh takbir, Allahu akbar. Menggema diruangan. Sementara sang imam turun dari mimbarnya, menuju shaf paling depan, tempat dimana puteranya yang tak lain adalah “malaikat” kecil itu duduk. Sang ayah mendekap dan menciumi anaknya diiring tangisan haru. Allahu akbar!”. Lihatlah bagaimana antusias anak kecil itu tatkala berdakwah, hingga dia mengatakan “Tapi Ayah, meski udara sangat dingin, tetap saja ada orang yang berjalan menuju neraka!” ia tidak bisa membiarkan manusia berjalan menuju neraka. Ia ingin kiranya bisa mencegah mereka, lalu membimbingnya menuju jalan ke jannah. Lihatlah pula bagaimana ia berdakwah, menunjukkan wajah ceria dan memberikan kabar gembira, “Saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai anda dan akan menjaga anda.” Siapa yang tidak terenyuh hati mendegarkan kata-katanya?. Berdakwah dengan apa yang ia mampu, juga patut dijadikan teladan. Bisa jadi, tanpa kita sadari, cara dakwah sederhana yan kita lakukan ternyata berdampak luar biasa. Menjadi sebab datangnya hidayah untuk seseorang. Padahal, satu orang yang mendapatkan hidayah dengan sebab dakwah kita, itu lebih baik bagi kita daripada mendapat onta merah. Wallahu a’lam bishawab. Alif jumai rajab (Abu Ukasyah), 05 mei 2012

0 komentar:



Posting Komentar