Berebut Senja



BEREBUT SENJA

Titik air yang jatuh dengan sangat halus menciptakan lukisan pelangi di langit senja. Kawanan burung-burung berbondong-bondong mengitari beberapa hiasan langit yang mulai berwarna keperakan. Nampak dibawah sana daun-daun dan pepohonan melambai-lambai dengan syahdu seakan mengucapkan selamat tinggal kepada sang surya yang tak pernah lelah menampakkan cahayanya.
            Di dalam sebuah rumah sederhana aku memulai sebuah cerita.  Cerita dimana aku tak pernah letih memandang langit di sore hari. Aku menghabiskan waktu petang sambil duduk di beranda teras rumah yang sudah mulai usang hanya untuk mengantarkan langit menuju kegelapan malam. Aku selalu takut jikalau aku tak dapat melihat keindahan itu lagi pada esok hari. Orang-orang yang mengenalku tak lagi heran dengan kebiasaanku ini. Jika sore hari telah tiba orang-orang tak akan lagi menyuruhku ini dan itu, karena mereka sudah tahu bahwa sore hari adalah waktu dimana aku akan duduk termenung memandang langit.
            Kebiasaan ini bukan kebiasaan yang aku bawa dari masa kecilku. Tapi kebiasaan ini baru mulai aku jalani sejak dua tahun silam. Dimana dahulu aku adalah seorang mahasiswi yang sehari-hari di sibukkan dengan kegiatan kampus dan sebagainya. Kebiasaan yang baru muncul ketika aku kehilangan “dia”.
*****


Kala itu aku baru saja pulang dari kampus. Aku berjalan kaki dengan membawa buku-buku yang aku dekap didadaku. Dengan langkah lesu aku berjalan menyusuri gang-gang kecil untuk mengambil jalan pintas agar tidak menempuh jarak yang jauh.  Sudah dua hari ini aku pulang dengan berjalan kaki. Aku harus menghemat uang saku agar aku dapat memakainya untuk keperluan yang lebih penting dan mendesak. Saat itu entah apa yang ku fikirkan, aku merasa melihat seorang gadis kecil berusia sekitar sembilan tahun ia tengah duduk di halaman rumah tak berpagar yang terlihat agak besar. Ia duduk sambil melamun menatap langit pada sore hari dia tidak hanya sekedar melamun tapi aku melihat dia tengah memegang sebuah pena dan kertas. Dua hari berturut-berturut aku melihatnya demikian, bahkan dengan posisi duduk yang sama. 
Ia menatap langit dengan sorotan mata yang tajam. Entah apa yang ada di benaknya tapi aku merasa dia tengah merangkai kata mengenai langit. Entah sejak kapan aku mulai memperhatikannya. Rambutnya yang di hantam angin menampar-nampar halus wajahnya yang terlihat seperti berwarna putih kepucatan.
Gadis kecil itu telah duduk di situ ketika sudah masuk waktu petang. Tak ada yang begitu peduli dengannya. Warga di situ pun hanya lalulalang seakan tak memperhatikannya. Aku menghabiskan waktu untuk memperhatikannya.
“Siapa gadis cilik itu”? Tanyaku pada salah seorang ibu-ibu yang tengah mengangkat pakaiannya dari jemuran.
“ dia?” sambil menunjuk kearah gadis itu. Iya jawabku dengan sigap.
 “ooh itu laras”. Orang- orang menjulukinya gadis senja.
“Gadis senja?”
“iya . karena dia selalu duduk merenung pada waktu senja. Sudah hampir satahun dia seperti itu. Dulunya ia sekolah di SD, tapi entah sejak kapan aku mendengar bahwa dia sudah berhenti dari sekolah. Tukas ibu-ibu itu. Hampir setahun? Aku mengenyritkan kening dengan heran. Kalau adik tidak percaya, cobalah untuk datang lagi di esok hari. Pinta Ibu itu. Aku sedikit tidak puas dengan jawaban ibu itu.  Entah siapa anak itu. Aku semakin penasaran.
*****

Kala itu langit tengah gerimis, aku menatapnya sambil sembunyi di balik pohon agar tak ada yang melihatku. Kali ini aku melihat dia tidak duduk sendirian. Dia di temani seorang ibu-ibu yang tengah memakai pakaian serba putih berdiri sambil memegang payung di belakangnya. Anak itu nampak sedih, ku lihat matanya agak sedikit  membengkak seperti sehabis menangis. Kini ia tidak memegang pena dan kertas. Hanya sebuah tatapan lesu yang sedang menengadah ke arah langit.

            Esok harinya aku mampir lagi. Dan ternyata benar. Gadis kecil itu lagi-lagi duduk memandang langit. Dan kejadian ini hanya terjadi pada saat waktu petang telah tiba. Dengan posisi duduk yang sama dan tentunya kali ini dia kembali memegang pena dan kertas. Ada sesuatu yang berbeda dari penampilannya. Kini tidak ada lagi kibaran rambut. Kini dia tengah memakai pentup kepala yang menutupi kepalanya hinggah bagian leher. Tidak terlihat seperti kerudung. Mirip topi lebih tepatnya. Aku bertanya-tanya dalam hati, apa yang dia rasakan pada saat petang? Mengapa dia hanya duduk ketika sore hari? . Tidak ada jawaban pasti yang ku dapat dari pertanyaanku kini. Orang-orang di sekitar situpun seakan tidak ambil pusing dengan gadis itu.
            Sebulan lamanya aku menghabiskan waktu soreku untuk menyusuri gang-gang dan melihat gadis itu. Dia tetap memandang langit, hanya saja pernah beberapa hari aku tidak melihatnya duduk di halaman itu, tapi hari berikutnya aku melihatnya lagi. Aku hanya menebak mungkin saat itu ia sedang nginap di rumah kekeknya atau pergi ke sebuah tempat untuk bertamasya.
            Aku rasa gadis itu benar-benar menyukai langit di senja hari. Memang benar. Senja sangatlah indah. Sesekali aku pernah melihat dia tengah berbicara menghadap langit. Seakan dia tengah bercakap-cakap dengan seorang teman. Pernah juga dia menunjuk-nunjuk ke arah langit, seakan dia tengah memegang tongkat peri dan memerintahkan langit agar diam pada senja saja.  Banyak makna yang ku dapat dari gadis kecil itu, tapi sampai saat ini aku hanya mampu melihatnya dari balik pohon.

****

            Kini sudah masuk bulan ke tiga aku mengamati gadis itu. Kala itu langit sedikit mendung. Gadis kecil itupun nampak terlihat murung. Batinku terdesak untuk mendekati dan mengajak berbicara gadis itu.
Aku mencoba mendekatinya. Kulihat wajahnya polos dan agak pucat. Bibirnya mengering dan terlihat pecah-pecah. Tubuhnya sangat kecil dan kurus. Aku tak melihat rambutnya, kini dia tengah menggunakan penutup kepala yang terlihat seperti topi. Aku mencoba mengintip ke sebuah buku yang di peganginya, mencoba melihat apa yang selama ini dia tuliskan, samar-samar aku melihat tulisan yang mencirikan bahwa itu memang tulisan anak-anak, ia menggunakan huruf kapital pada garis pertama bukunya yang bertuliskan “BEREBUT SENJA”. Aku sempat terkaget dengan tulisan itu. Tulisan itu seperti tema dari seorang penulis hebat. Sebuah tulisan yang tidak pernah aku fikirkan bahwa akan di tulis oleh seorang gadis kecil.
            Gadis itu seakan tidak merasakan kehadiranku. Ia tetap memandang langit dengan sorotan mata yang tajam. Seolah ia sedang marah karena awan gelap menghalanginya melihat lukisan emas sebuah senja.
            “Kamu sedang lihat apa dek” ? Tanyaku mengawali pembicaraan. Hening tak ada jawaban. “Langit indah yah”. Ucapku lagi. Tapi lagi-lagi tak ada jawaban.
            “Kamu sedang menulis apa?” kali ini dia langsung memeluk bukunya seakan dia takut kalau aku akan mengambilnya.  Tetap saja matanya memandangi langit.  
            “Orang tua kamu mana?” sekilas dia menatapku, dan kembali menatap langit. Aku heran dengan tatapannya, seketika dia mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah rumah besar di belakangnya. Isyarat bahwa mungkin orang tuanya ada di dalam rumah. Sedikit ada harapan aku bisa berbicara dengannya.  Aku pun menundukkan badanku, melipat kaki sambil memeluk lututku, diam menemaninya memandang langit yang tertutup awan.
Hari-hari berikutnya aku tidak lagi menatapnya dari balik pohon. Kini aku berdiri tepat di sampingnya. Mengajaknya bercerita meski tak ada jawaban. Pernah ku dapati seorang wanita berpakaian putih itu menemaninya di halaman rumah. Wanita itu tersenyum ramah kepadaku. Aku mencoba menanyakan perihal gadis kecil itu, pertanyaan sama yang pernah aku tanyakan pada ibu-ibu yang sedang mengangkat jemuran. Ibu itupun hanya senyum dan mengatakan anak itu menyukai senja. Tak ada jawaban lain yang ku dapat. Hanya itu.

****

            Hari ini aku tak sempat singgah melihat anak itu, aku dan beberapa temanku janjian untuk menjenguk seorang teman di rumah sakit. Aku berusaha membuat janji tidak pada sore hari. Tapi beberapa temanku hanya punya waktu luang pada sore hari. Dengan sangat terpaksa aku mengiyakan dan membuat janji untuk kerumah sakit pada sore hari. Di lorong rumah sakit aku duduk sambil menunggu giliran agar bisa masuk ruangan tempat temanku di rawat. Hanya dua orang yang bisa masuk menjenguk ke kamar rumah sakit itu. Jadi kami masuk secara bergantian.
            Dari arah berlawanan aku melihat beberapa petugas rumah sakit tengah berburu waktu, seakan mereka sedang mengadakan lomba lari. Perawat-perawat itu berjalan dengan cepat, beberapa di antaranya ada yang mendorong sebuah tempat tidur menuju arah IGD. Aku berfikir mungkin ada pasien yang sedang gawat. Gerombolan perawat itu melintas tepat dihadapanku, tak sempat aku melihat siapa orang yang ada di tempat tidur itu karena posisiku saat itu tengah duduk.  Mataku mengikuti gerak tempat tidur itu, ada sepasang suami istri muda yang tengah menangis mengiringi pasien tersebut. Pasien itu makin menjauh dan samar-samar aku mendapati sosok perempuan tidak begitu tua yang tidak terlihat asing bagiku. Aku teringat, wanita itu adalah wanita yang pernah berdiri menemani gadis kecil di halaman itu. Aku baru ingat dulu ia menggunakan seragam putih-putih yang baru ku mengerti bahwa dia adalah seorang perawat. Tak sempat aku menyapanya, karena posisinya aga lumayan jauh dari tempat dudukku. “Mungkin dia kerja di rumah sakit ini” gumanku dalam hati.
            Lamunanku buyar ketika temanku menepuk bahuku sambil berkata bahwa kini giliranku yang masuk. Aku pun bergegas masuk menjenguk temanku yang sedang sakit.

****

            Hari ini perkuliahanku sudah berakhir sejak waktu dhuhur. Aku berfikir untuk menyegerakan pulang dan singgah melihat gadis kecil itu lagi.  Sehabis makan siang aku pun bergegas pulang dan kembali menyusuri gang-gang kecil tempat anak itu tinggal. Aku berdiri menatap halaman rumah gadis tersebut. Aku tak mendapati gadis itu. Hanya ada kursi kosong di halaman itu. Aku berfikir mungkin aku datang terlalu cepat. Aku pun memutuskan untuk duduk di samping kursi itu sambil menunggu gadis itu keluar dari rumah. Rumahnya tertutup. Aku fikir mungkin mereka sedang tidur siang.
            Aku tak sengaja terlelap. Mungkin karena kelamaan menunggu jadi aku tertidur. Ku coba melirik ke jam yang melingkar di tanganku, pukul lima sore. Ku palingkan wajahku ke sebelah kiri, kursi itu kosong. Gadis itu tak keluar dari rumahnya. Aku pun berdiri dan mengetuk-ngetuk pintu rumahnya mencoba membangunkan siapa tahu mereka ketiduran. Tak ada jawaban dari dalam. Hening dan sunyi.
            Ku coba lagi datang pada esoknya. Tapi aku tak mendapatinya. Rumahnya pun masih nampak tertutup rapat. Aku mencoba menunggu hingga senja bersembunyi di balik gelap, tapi gadis kecil itu tak kunjung datang. Mungkin kini ia nginap di rumah kakeknya, atau mungkin dia sedang berjalan-jalan karena bosan disini. Tapi aku berfikir dia pasti kan kembali lagi.
            Besok, besok dan besoknya lagi aku datang dan menunggunya di samping kursi yang sering ia duduki. Tapi gadis kecil itupun tak menampakkan dirinya. Aku merasa sangat sedih, entah mengapa. Bahkan langit di senja hari pun seakan ikut menangis karena tak ada lagi yang memandanginya.
 Aku mulai bertanya pada tetangga di sekitar rumah itu. Mereka pun tak tahu. Yang mereka tahu hanya ada gadis kecil dan seorang pembantu tinggal disitu. Orang tua gadis itu bekerja di luar negeri. Dan para tetangga pun jarang berinteraksi dengan pembantu itu. Kata mereka, penghuni di rumah itu tak pernah keluar walau hanya sekedar bercanda dengan tetangga. Oleh sebab itu, para tetangga pun tak pernah ambil pusing dengan keluarga itu. Dan mereka tidak tahu menahu apa yang terjadi dengan keluarga itu. Aku sedikit kecewa dengan pernayataan tetangga-tetangga itu. Rasanya seperti ada yang hilang dari diriku. Sudah seminggu lamanya aku menunggunya di halaman rumah. Tapi gadis kecil tak pernah muncul lagi.
Pada suatu hari aku mengunjungi rumah itu. Ada sedikit harapan karena pintu rumah gadis kecil itu terbuka. Aku sangat bahagia. Aku pun bergegas bergerak menuju rumah itu dan mengetuk-ngetuk pintunya. “Assalamu alaikum” ku ucapkan hingga berulang-ulang kali. Dan akhirnya aku mendengarkan jawaban “waalaikum salam” dari dalam rumah tersebut.  Beberapa detik kemudian wanita yang ku lihat di rumah sakit pada waktu yang lalu pun keluar. Aku bisa merasakan bahwa ada raut keheranan saat dia melihatku berdiri di depan pintu.
Silahkan masuk dek. Pintanya sambil tersenyum. Aku pun membuka sepatuku dan bergegas masuk. Tanpa basa basi aku pun langsung bertanya, “Gadis kecil yang sering duduk di halaman itu kemena yah bu?” sambil menunjuk ke arah halaman rumah. Wanita itu hanya senyum tipis. Aku melihat ada gumpalan air sedang tertampung di matanya. Gadis itu bernama “laras” kata wanita itu.
“ dia kemana yah bu?” tanyaku penasaran.
“ sekarang dia tengah istirahat di tempat yang indah” sahut wanita itu.
“Dimana bu?” tanyaku lagi.
“di syurga” jawabnya singkat.
Mendengar jawaban wanita itu, hatiku pun rasanya ingin meledak. Sesak dan terasa menghimpit saluran pernafasanku. Aku hanya diam dan membisu.
            Aku pun pamit dari rumah gadis itu. Aku sudah tak sanggup bertanya lagi. Rasanya jawaban itu menyumbat mulutku untuk berbicara. Sebelum pulang, wanita itu memberiku sebuah buku tulis lusuh berwarna pink. dia mengatakan aku membacanya di rumah saja.

****

            Aku duduk di teras rumahku sambil menatap langit. Aku menatap langit yang menguning lalu berwarna seperti emas kemudian gelap. Senja memang indah.
Semenjak membaca buku tulis lusuh itu, semenjak bertemu gadis kecil itu dan semenjak aku berpisah dengan  laras. Aku mulai menyukai senja. Laras pergi tanpa pernah berbicara denganku. Tapi aku senang karena dia telah membantuku melihat keindahan langit.
            Laras kecil, pergi menuju syurga. Ia pergi setelah bertengkar dengan awan mendung. Mereka sedang BEREBUT SENJA. Laras merasa sedih ketika awan mendung menghalanginya bertemu dengan senja. Tapi ia tak pernah menyalahkan awan mendung. Sebab ia merasa senja yang menyuruh awan mendung untuk datang menutupinya. Ia pergi setelah berjuang untuk tetap melihat senja. Ia pergi karena ia merasa tuhan lebih sayang padanya dari pada senja. Sebab senja pergi ketika matahari juga pergi. Dan hanya datang ketika matahari hendak pergi lagi.
            Laras merasa bahwa senja adalah sahabat terbaiknya. Dan awan mendung adalah sosok penganggu yang menghalanginya bertemu sahabatnya. Dalam buku lusuh itu ia berkata, bahwa ia Telah mendapat sahabat lagi selain senja. Yang menemaninya ketika senja tertutup oleh awan mendung. Yaitu seorang kakak manis di balik pohon. kakak manis yang sudah berani berdiri di dekatnya. Kakak manis yang tidak takut tertular penyakitnya. Kakak manis yang mengajaknya bercerita.



           

0 komentar:



Posting Komentar